Ramadhan di Akhir Perjalanan

Sobat muda muslim, ya nggak terasa bulan Ramadhan udah berada di akhir perjalanannya. Padahal, kayaknya baru kemarin kita bergembira dengan datangnya Ramadhan. Padahal, rasanya baru kemarin kita mengawali indahnya sahur dan buka pertama dalam puasa kita. Padahal, rasanya baru kemarin pula kita sama-sama ikutan tarawih pertama berjamaah di masjid. Begitulah… Waktu memang berjalan tanpa kompromi. Meninggalkan kita. Nggak peduli kita lagi ngapain. Mau yang sedang memanfaatkan nya atau malah yang getol membuang percuma kesempatan. Semua ditinggalin tanpa ampun.

Kita pantas merenung. Di sepuluh hari terakhir yang tersisa di bulan Ramadhan ini, apa yang akan kita lakukan? Menghitung hari seperti kemarin dengan tanpa ada aktivitas amal shaleh? Atau sekadar mengisinya dengan hal-hal yang amat jauh dari nilai-nilai Islam?? Rasanya, kita semua udah pada tahu, apa yang harus kita lakukan. Tapi celakanya, kita juga seringkali lalai dengan apa yang seharusnya kita lakukan. Hati-hati yoo…

Kita tahu bahwa puasa adalah wajib hukumnya. Kita yakin (meski dengan keyakinan seadanya), bahwa kalo nggak puasa kita akan berdosa. Namun, ternyata dalam praktiknya ada saja yang error. Selalu saja ada sebagian besar dari kita, yang ternyata masih melalaikan puasanya. Siang hari masih bebas makan dan minum. Emang sih, yang barangkali masih punya ‘setitik’ rasa malu tapi besar hawa nafsunya, ia akan makan dan minum di warung-warung yang tertutup kain. Kalo yang bebal mah, alias muke tebel, cuek aja ‘cacapluk’ di siang hari secara terang-terangan juga. Aduh, ini kok kayaknya nggak takut dosa gitu lho. Ckckck… gawat!

Bagi kita-kita yang mengawali dan mengisi Ramadhan ini dengan harapan ridha ALLAH, tentunya ingin selalu mendapat kesempatan emas dalam beribadah kepada ALLAH. Apalagi di bulan Ramadhan, di mana banyak kaum muslimin berlomba mengumpulkan pahala untuk meraih derajat takwa. Nggak heran jika semua merasa Ramadhan adalah saat-saat padat beribadah. Rasulullah SAW jika Ramadhan tiba, beliau adalah orang yang paling dermawan. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. bahwa Rasulullah SAW adalah orang yang paling dermawan dengan kebaikan. Kedermawanannya meningkat pada bulan Ramadhan, yaitu ketika beliau bertemu dengan malaikat Jibril. Disebutkan bahwa kedermawanan beliau melebihi kecepatan angin bertiup. Duh, betapa mulianya Ramadhan…

Senang, sedih, dan cemas jadi satu;

Ihwan dan Akhwat, jika setiap habis Ramadhan, gimana sih perasaan hatimu? Senang, sedih, cemas? Kayaknya gampang-gampang susah menjawab pertanyaan model begini. Sebab memang sulit memisahkan perasaan itu sendiri-sendiri. Maklum, ketika ber­akhirnya Ramadhan banyak perasaan yang muncul di hati kita. Bercampur jadi satu.

Perasaan senang muncul karena setidak nya kita merasa berhasil telah lolos dari medan ujian yang berat sebagai pemenang. Benar-benar sangat berat. Sebab, selain harus menahan diri dari rasa lapar yang mengiris-ngiris lambung kita, selain harus menahan haus yang terasa mengeringkan kerongkongan kita, juga kita dituntut oleh ALLAH SWT untuk mengendalikan hawa nafsu kita. Tujuannya, agar puasa kita juga dibarengi dengan tambahan pahala yang lain dari ALLAH SWT. Perasaan sedih juga muncul dari kita.

Kenapa sedih dengan berakhirnya Ramadhan? Karena kita kehilangan kesempatan emas untuk menanam pahala di bulan tersebut. Sedih rasanya merasakan perpisahan dengan bulan yang telah dimuliakan ALLAH sebagai tempat untuk ‘menimbun’ pahala. Lebih sedih lagi kalo kita sampe tak mendapat apa-apa di bulan Ramadhan ini, kecuali rasa lapar dan haus. Termasuk nggak dapat pahala puasa karena memang nggak puasa. Duh, rugi berat deh…

Rasa cemas juga kerap muncul dari kita. Khususnya bagi kita-kita yang memang telah mengisi Ramadhan tahun ini dengan segala aktivitas amal sholeh kita. Sehingga setiap habis Ramadhan, yang dirindukan adalah kembali bisa menikmati Ramadhan di tahun depan. Namun, ada kecemasan yang menggunung manakala menyadari dan khawatir jika usia kita nggak sampe di Ramadhan berikutnya. Harapan dan kecemasan bercampur jadi satu. Sampe kita sendiri nggak tahu, apa sebetulnya yang kita inginkan. Sebab, antara harapan dan kecemasan kelihatannya saling melengkapi. Setiap kali kita berharap, selalu saja ada kecemasan, meski sekecil apapun rasa cemas itu.

Perasaan-perasan tadi muncul secara wajar dalam diri kita. Alhamdulillah, moga kita menjadi hamba-hamba ALLAH yang bertakwa. Tapi jika sebaliknya, yakni kita tak pernah merasa senang, sedih, apalagi cemas dengan habisnya Ramadhan ini, wah, pantesnya kita mulai mengukur diri tuh. Sudah seberapa pantas menjadi seorang muslim. Dan itu berarti pula kita adalah termasuk manusia super cuek, nggak peduli dengan masa depan kita sendiri. Sungguh keras hati kita jika tak pernah ada ungkapan dari perasaan hati kita ini. Meski cuma diungkapkan setitik saja. Ah, rasanya kita pantas untuk ‘dimurkai’ ALLAH.

Naudzubillahi min dzalik!

Padahal , kita pantesnya malu sama ALLAH. Pantas ‘berhutang’ kepada ALLAH. Betapa banyak rizki dari ALLAH yang telah kita makan. Betapa bejibun nikmat ALLAH yang telah kita rasakan. Betapa tak ternilai harganya ketika ALLAH menjadikan kita sebagai seorang muslim. Sebab, menjadi muslim, adalah petunjuk dari ALLAH. Itu adalah hidayah-Nya. Dan itu tak semudah membalikkan telapak tangan.

Barangkali kita nggak merasakan tantangannya ketika menjadi muslim. Sebagian besar dari kita menjadi muslim karena memang lahir dari keluarga muslim. Bayangkan jika kamu mendapatkan hidayah ALLAH ini berkat perjuangan yang melelahkan antara hidup dan mati.

Sa’ad bin Abi Waqqash, salah seorang sahabat Rasulullah, begitu berat menghadapi kenyataan ketika beliau menjadi muslim. Sang ibu melakukan protes keras dengan mengancam akan melakukan mogok makan sampe tuntutannya agar Sa’ad kembali ke agama nenek moyangnya dipenuhi Sa’ad. Tapi Sa’ad tak mudah untuk tergoda lagi. Berat bukan? Begitupun dengan Amr bin Yassir, yang harus rela melihat dengan matakepalanya sendiri orangtuanya menemui ajal di tangan orang-orang kafir Quraisy karena mempertahankan keyakinan mereka tentang Islam. Begitu pula, pernahkah kamu membayangkan bagaimana menderitanya Salman al-Farisi yang berusaha mencari kebenaran. Sempat pindah-pindah keyakinan sebelum akhirnya istiqomah dengan Islam. Saking istiqomahnya dengan Islam, beliau rela hidup menderita untuk membela Islam.

Wajar kan, jika nilai keimanan beliau-beliau boleh dibilang sangat mahal ketika ‘membelinya’. Amat beda dengan kita yang langsung instan. Karena memang lahir dan dididik di lingkungan keluarga muslim. Tapi walau bagaimanapun juga, ini merupakan hidayah dari ALLAH SWT juga. Tinggal bagaimana kita mensyukuri nya. Salah satunya adalah dengan taat terha dap apa yang diturunkan ALLAH SWT kepada kita. Wajib tunduk dan patuh terhadap perintah-Nya.

Peduli kita untuk mereka…

Sobat muda muslim, selain kita mengukur apa yang telah kita lakukan di bulan pernah berkah, rahmat, dan ampunan ini, juga kita tumpahkan energi peduli kita untuk teman-teman yang masih tetap ‘istiqomah’ dalam kemaksiatannya. Nggak jarang kita jumpai, saudara kita yang masih berprinsip “semau gue” dalam berbuat. Malah tetep maksiat meski di bulan suci nan mulia ini.

Astaghfirullah.

Buat kita semua yang masih doyan maksiat, kayaknya pas banget untuk direnungkan nih salah satu syair dari lagunya Justice Voice berikut ini:

Allahurabbuna shalat kami tak sempurna/
sering kami lalai di saat tengah menghadap/
apa yang terucap tiada terasa di hati/
disibukkan pikir dunia yang tak pernah habis.

Ya Rabbul Izzati kamilah hamba yang sakit/
sakit akan iman, ilmu amalan ibadah/
apa yang dibawa jikalau Engkau memanggil/
tak cukuplah bekal menghadap Engkau ya Rabbi

Ya Allah ya Rabbi, beri ampun kami/
hamba yang tertipu dunia fana ini/
bagaimanalah nasib hamba yang amat merugi/
mendamba cintaMu sedang amalan sedikit/
jangankan yang sunnah banyaknya amal ibadah, shalat fardu saja kadang hanya waktu sisa/
sisa dari dunia yang dijadikan tujuan

Banyak lho saudara kita yang masih maksiat di bulan Ramadhan. Maka kepada mereka, sikap peduli layak kita berikan. Tentu ini sebagai tanda kasih kita kepada mereka. Sebagai tanda cinta kita kepada mereka. Sebab kita adalah saudara seakidah. Bedanya, kita sudah mulai ingin benar dalam hidup ini, teman-teman yang karena keterbatasan ilmunya, masih betah maksiat.

Kita pantas cemas menyaksikan polah teman-teman yang menjalani puasa hanya sebatas menahan diri dari makan dan minum doang. Sementara,  mereka tetep keukeuh pacaran, tetep membuka auratnya, tetep tidak mengontrol mata, telinga, dan hatinya dari perbuatan kotor dan nista. Kita khawatir banget, jangan-jangan, cuma mendapatkan rasa lapar dan haus dari puasanya itu. Rugi deh. Rasulullah SAW bersabda:

“Betapa banyak orang yang ber puasa, tapi mereka tidak menda patkan apa-apa dari puasanya itu kecuali lapar dan dahaga” (HR Ahmad)

Kita pun pantas prihatin dengan kondisi masyarakat ini. Saat ini, masyarakat sepertinya sederhana saja memandang kehidupan ini. Ringan aja menghadapi dinamikanya. Kita sedikit meragukan jika masyarakat ini masih menyimpan rasa peduli akan kebenaran. Sebab, bukti nya banyak yang menyepelekan kebenaran. Individu memang banyak yang berbuat salah. Tapi yakinlah, ini akibat dari lingkungan tempat hidupnya. Sudahlah takwa individu carut marut, dan ini jumlahnya banyak, eh, masyarakat secara umum juga udah terbiasa dengan kemaksiatan yang berlangsung dalam kehidupannya. Bahkan celakanya ada yang sampe menganggap bahwa itu emang bagian dari kehidupan sekarang. Individu dan masyarakat yang udah jebol ini makin diperparah dengan kedodorannya negara dalam mengatur rakyat. Karuan aja, makin surem dah kehidupan ini.

Itu sebabnya, meskipun kita gembar-gembor mengkampanyekan untuk melakukan perbaikan individu. Tapi dalam waktu yang bersamaan nggak dibarengi dengan mengubah masyarakat, maka kemungkinan besar akan mengalami kegagalan. Sebab, masalah akan terus berputar di situ. Jadi, mari ubah individu, dengan melakukan perubahan terhadap masyarakat. Jadikan masyarakat ini sebagai masyarakat Islam. Masyarakat yang diatur dalam negara yang menerapkan syariat Islam. Dengan begitu, kita tak perlu cemas, sedih, dan prihatin lagi menyaksikan kondisi kaum muslimin saat ini. Bukan hanya setiap habis Ramadhan, tetapi sepanjang waktu. Sebab, semuanya udah benar. Tinggal diarahkan aja. Sekarang? Kita harus membenarkan seka ligus mengarahkan. Relatif berat bukan?

Oke deh, moga-moga kita nggak cemas dan prihatin lagi setiap habis Ramadhan gara-gara mikirin kondisi umat ini. Tapi ya, selama kita hidup di bawah sistem kapitalisme seperti sekarang ini, kehidupan senantiasa diliputi rasa cemas, dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk saat seperti ini, setiap habis Ramadhan.

Cemas, kalo umat ini akan balik bejat lagi setelah Ramadhan berlalu. Ya, jangankan nanti, saat Ramadhan aja masih banyak yang memamerkan kesombongannya dengan nggak mau taat kepada aturan ALLAH dan Rasul-Nya.

Semoga kita menjadi hamba-hamba Allah yang mendapat berkah, rahmat, dan ampunan. Dan senantiasa memohon kepada Allah agar kita digolongkan kepada orang-orang yang berjuang demi tegaknya syariat Islam di muka bumi ini. Sekali lagi kita ngingetin, mari ubah individu dengan melakukan perubahan terhadap masyarakat.

Setuju kan? Harus Setuju dong! (haha maksa deh gue!)

Yuk, jadikan Ramadhan ini sebagai momentum perjuangan kita untuk mengembalikan kejayaan Islam yang diterapkan sebagai ideologi negara dalam bingkai Daulah Khilafah Islamiyah. Semoga di Ramadhan tahun depan, segalanya sudah berubah menjadi lebih baik dari sekarang. Kita berharap bertemu Ramadhan di tahun depan agar bisa melihat keberkahan menyelimuti seluruh negeri. Kita bosan dengan kehidupan di bawah naungan Kapitalisme. Benci sebenci-bencinya dan kita berusaha berjuang bersama untuk menghancurkannya dan menghilangkannya dari kehidupan kita saat ini. Hanya Islam yang pantas dijadikan ideologi negara. Bukan yang lain. Semoga ALLAH SWT memberi kesempatan kepada kita untuk bertemu Ramadhan di tahun depan dengan lebih baik kondisinya dari sekarang. Amiiin Ya Rabbal’alamiin…

Mari kita mulai perubahan individu dan masyarakat mulai dari sekarang dan seterusnya. Tetap semangat!

Leave a comment

Filed under ISLAM, remaja

Leave a comment